Motivasi, Inspirasi, Puisi, Edukasi,

Peran Etnografi dalam Digital Marketing

by Yoshi Wafa , at 10:22 PM , has 1 comment
Amalia E. Maulana, Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
Fragmentasi Media dan Perubahan Perilaku
Lingkungan pertemanan di era modern ini sudah tidak bisa lagi dilihat dari kedekatan fisiknya saja. Sering kita menjumpai atau mungkin mengalaminya sendiri, berada di sebuah ruangan yang sama, satu keluarga berkumpul bersama, tetapi setiap individu sibuk berkomunikasi dengan teman masing-masing. Pada dasarnya setiap individu dalam keluarga sudah membentuk lingkaran-lingkaran komunitas tersendiri. Hal ini yang kemudian memunculkan sebuah ekspresi tentang situasi disintegrasi komunitas: ‘Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh’.
Seorang ibu rumah tangga sampai perlu repot-repot untuk membuat kotak khusus gadget yang digunakan untuk menyimpan dan mengunci semua gadget yang dipegang oleh anggota keluarga, sebelum makan malam dimulai. Ini adalah upaya mengontrol kembali interaksi komunikasi antar anggota keluarga yang sudah mulai luntur akibat distorsi media-media personal yang tetap dipegang dan digunakan pada saat interaksi face-to-face dengan anggota keluarga.
Jika dulu konsumen bisa diharapkan duduk manis mendengarkan radio, menonton tv, membaca koran dan menonton bioskop secara fokus, sekarang pemilik brand yang sudah menginvestasikan memasang iklan di berbagai media tersebut, tidak bisa berharap banyak.
Seseorang yang duduk di depan TV, bisa jadi akan memusatkan perhatiannya kepada dua media sekaligus, yaitu program televisi dan juga gadget komunikasi di tangannya. Jika dulu, perhatian audience TV akan terganggu dengan begitu banyak iklan – dimana ia akan sibuk mengganti channel TV untuk menghindari iklan, maka sekarang solusinya mudah saja. Pada saat iklan TV muncul, perhatiannya akan beralih ke gadget di genggaman tangannya. Mulai browsing dan chatting – berinteraksi dengan dunia yang lain melalui media yang berbeda. Iklan di TV tetap tayang tanpa attention dari audience-nya. Pesan brand dalam iklan melayang begitu saja.
Saya teringat setting di ruang tunggu dokter di rumah sakit. Dahulu, dimana pasien bosan menunggu, disediakan majalah-majalah, dan terlebih lagi central TV yang berisi hiburan yang diselipkan iklan-iklan sponsor. Saat ini, saya perhatikan, keberadaan majalah dalam setting antrian seperti itu tidak lagi sepenting dulu. Bahkan TV yang berisi program-program yang dirancang semenarik mungkin, tidak cukup untuk menahan attention penontonnya. Dalam situasi antrian, seseorang lebih nyaman untuk memilih sendiri apa yang ingin dibacanya, dan apa yang ingin ditontonnya. Pilihan itu ada di dalam genggaman tangannya atau dalam tablet yang ada di pangkuannya.
Di era digital yang begitu memudahkan seseorang untuk bukan saja menerima informasi tetapi juga membagi informasi, setiap individu tiba-tiba menjelma menjadi media yang unik dan spesifik. Misalnya saja, seseorang yang menerima informasi tentang brand, bisa menambahkan di status Twitter nya dengan kalimat yang menyetujui atau sebaliknya. Audience sudah menjadi bagian dari tim perancang pesan brand. Pemasar sebaiknya tidak lagi beranggapan bahwa apa yang ditulis dalam pesan komunikasinya, itulah yang akan sampai ke benak konsumen. Semuanya akan bergantung pada cerita ‘besar’ yang terbentuk bersama-sama dengan audience-nya yang notabene adalah pemilik media sosial. Audience menjadi punya fungsi ganda, yaitu sebagai potential customer tetapi juga sekaligus sebagai partner brand untuk mendistribusikan pesan-pesan tentang brand.
Perubahan terbesar di era digital ini adalah teknologi komunikasi yang memungkinkan banyak kegiatan dilakukan langsung oleh perorangan, yang mana sebelumnya hanya dikendalikan oleh ‘otoritas’ pemilik media. Dengan digital media, kegiatan konsumen meluas, dari hanya menerima informasi menjadi ikut berpartisipasi dalam creation dari content dan penyebarannya. Ini adalah sebuah tantangan terberat bagi pemasar dan orang-orang yang bergerak di bidang komunikasi. Bagaimana menjangkau setiap individu dan memastikan bahwa content yang diusung dalam isi cerita dan berita relevan untuknya.
Etnografi: Dibantu Teknologi
Jika dulu pemasar diminta untuk memahami konsumen yang dibagi dalam kelompok yang homogen kebutuhannya, sekarang tugas makin berat dan kompleks. Kelompok yang homogen ini sudah terfragmentasi menjadi semakin heterogen. Kebutuhan tiap konsumen sudah semakin spesifik, berbeda satu dengan lainnya. Pemasar dituntut untuk memahami personalized need. Ini tentu saja tidak mudah.
Jadi ada dua hal: kebutuhan semakin bersifat individu dan bagaimana bisa berbicara dengan tiap-tiap konsumen juga menjadi semakin spesifik, tidak bisa disamaratakan lagi. Mass media menjadi tidak efektif karena yang ditawarkan adalah pesan generik, bukan personalized message.
Etnografi sebagai sebuah pendekatan untuk memahami kebutuhan konsumen juga berkembang pesat. Yang semula, dalam konteks antropologi budaya, seorang periset harus berbulan-bulan tinggal bersama untuk memahami kultur sebuah suku bangsa, maka saat ini teknologi bisa membantu mempercepat proses yang sama.
Dalam etnografi marketing dikenal banyak teknik yang bisa membantu mengumpulkan cerita dan menjaring issues tentang brand dan konsumen sampai ke akar permasalahannya. Observasi langsung, observasi tidak langsung, indepth interview, creative focus group, mystery guest, usability interview, interactive sessions, digital etnografi (melalui teknologi digital), netnography (eksplorasi via Internet), dan lain-lain. Tentu cara-cara ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa pemasar tidak punya waktu banyak seperti seorang antropolog yang bisa tinggal berbulan-bulan di sebuah komunitas.
Multiple techniques yang dipilih dalam rangka mengenal sebuah fenomena dan juga dilakukan melalui berbagai interaksi dengan berbagai tipe responden dan pelaku ‘cerita’ brand, menjadikan tingkat confidence periset terhadap hasil analisa insights-nya menjadi lebih tinggi. Karena telah terjadi proses validasi ulang dan pemahaman serta penelitian secara bertingkat.
Salah satu cara untuk mempercepat pengumpulan ‘cerita’ tentang brand adalah melalui internet, dari berbagai channel yang ada di dalamnya. Teknologi digital melalui berbagai software yang digunakan mampu menarik berbagai cerita yang ditulis oleh bermacam-macam sumber, baik itu dari sumber perusahaan dan dari sumber perorangan. Dan perkembangan terbarunya adalah mesin pencari ini mampu mengumpulkan bukan saja teks tetapi juga gambar atau foto yang berkaitan dengannya. Bahkan, membuat link antar teks, dan link antara teks dan foto, sehingga membuat kesimpulan di awal.
Ini tentu sangat mencengangkan. Mengumpulkan cerita sendiri merupakan pekerjaan antropolog yang membutuhkan kesabaran dan ketahanan tersendiri. Dengan teknologi, kegiatan ini dilakukan secara cepat. Saya pribadi melihat hal ini sebagai sebuah perkembangan yang positif di dunia etnografi. Hanya saja, yang menjadi concern pada umumnya adalah pada aspek interpretasi datanya. Data boleh dikumpulkan dengan mesin, tetapi pada saat interpretasi, maka link antar kata, antar cerita dan gambar belum tentu bisa dilakukan oleh mesin, sebaik ketika manusia melakukannya. Banyak dijumpai, interpretasi melalui software yang kemudian terlepas dari konteks awalnya, sehingga kesimpulan yang ditarik di akhir cerita menjadi ambigu dan tidak mengena.
Tantangannya adalah melihat segala sesuatu dari point of view cerita yang dikumpulkan dari manifestasi beragam dalam banyak teks, dari banyak penulis cerita, melalui berbagai channel yang berbeda, dari waktu ke waktu, dalam berbagai bentuk.
Tentu saja ini sudah dilakukan oleh para antropolog pada saat mereka berada di sebuah suku terasing dan mengumpulkan cerita-cerita kehidupan mereka dari hari ke hari. Yang membedakan para antropolog dengan yang dilakukan oleh para digital researcher adalah yang satu masih manual, yang lainnya sudah menggunakan teknologi.
Teknologi menyederhanakan segalanya. Sebagai contoh, bagaimana sebuah interview bisa langsung diperoleh transkrip teksnya lengkap dengan titik komanya, bisa dimungkinkan melalui online chatting di media seperti Yahoo atau Gmail. Bahkan, saya beberapa kali menggunakan fasilitas conference chat ini untuk mengerjakan Online Focus Group dan dari tingkat kecepatan mengumpulkan hasil obrolannya tentu sangat mencengangkan. Saat itu juga, transkrip percakapan bisa diambil dan dianalisa.
Pekerjaan sebagai etnografer dalam mengumpulkan informasi tentang cerita-cerita brand menjadi lebih cepat dibantu dengan teknologi informasi dan komunikasi. Bahkan, setelah makin maraknya media sosial, banyak hal yang tidak perlu ditanyakan lagi secara spesifik karena konsumen sebagai obyek penelitian sudah membahas cerita tentang brand di media-media yang mereka punya. Kemampuan teknologi untuk me-retrieve cerita tersebut terus dikembangkan oleh pakar teknologi informasi.
Berbagai software sudah bisa ditemui saat ini untuk membantu proses pengerjaan pengumpulan cerita, bahkan yang terus dikembangkan adalah bagaimana membuat mesin-mesin tersebut menjadi ahli juga dalam menganalisa cerita tersebut dan menyimpulkannya secara langsung. Pekerjaan antropolog yang sedianya memakan waktu satu tahun tiba-tiba selesai dalam hitungan hari, bahkan jam saja.
Sebagai seseorang yang sudah lama bergerak di bidang pengumpulan cerita tentang brand, tentang konsumen dan interaksi antar keduanya, yang saya alami, tingkat kompleksitas bukan saja dimulai dari kecepatan mengumpulkan ceritanya saja, tetapi adalah ekstraksi dari apa yang tersurat dan tersirat. Saya ragu bahwa ini sudah bisa dilakukan dengan baik oleh para mesin-mesin tersebut.
Kata kunci dari studi kualitatif dengan pendekatan etnografi ini adalah kekuatan interpretasi dari perisetnya. Hasil pengamatan saya, banyak terjadi salah interpretasi dan out of context pada saat analisa lengkap dari kumpulan cerita-cerita ini diberikan secara mutlak kepada software yang notabene adalah mesin.
Kita perlu berterimakasih kepada teknologi yang membuat segalanya mungkin, tetapi harus tetap alert pada kelemahannya, sehingga tidak memberikan beban terlalu berlebihan kepada teknologi. Yang ideal untuk studi etnografi dalam era digital ini adalah memanfaatkan kombinasi dari keduanya yaitu machine and human being.
Personalised marketing menjadi lebih terkendali pada saat proses pemahamannya dilakukan dengan baik. Studi etnografi yang dibantu dengan teknologi digital membuat program yang akan dikerjakan oleh pemasar menjadi lebih terarah, customized, lebih banyak suksesnya dibandingkan dengan gagalnya.
Selamat bereksplorasi!
Peran Etnografi dalam Digital Marketing
About
Peran Etnografi dalam Digital Marketing - written by Yoshi Wafa , published at 10:22 PM, categorized as Inspirasi . And has 1 comment
Next Older Post
1  comment Add a comment
sekarang trend nya sudah berbeda, pengertian digital marketing dan perannya sudah sangat maju
Reply Delete
Bck
Cancel Reply
Copyright ©2013 Yoshiwafa Personal Blog by
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger